Setiap orang dapat berpikir dan memecahkan masalah, tetapi jelas ada perbedaan yang luas dalam kecakapan-kecakapan tersebut antara orang yang satu dengan yang lain. Orang dapat berpikir, tetapi berpikir itu tidak dapat diamati secara langsung. Banyak usaha telah dilakukan untuk menerangkan “berpikir”, tetapi pengetahuan kita tentang proses tersebut dan juga tentang bagaimana cara meningkatkannya, masih belum lengkap.
Mulyoto (Suara Merdeka, 13 juli 2001) menyatakan bahwa ada tiga ragam berpikir yang dapat diproses dalam otak manusia. Pertama berpikir untuk menyelesaikan persoalan rasional dan logis dengan ukuran IQ. Kedua, pemikiran asosiatif yang mendasari kecerdasan emosional. Ragam ketiga adalah kemampuan berpikir secara melintas. Artinya, otak tidak hanya mampu berpikir logis yang terpisah dan sistem asosiatif yang terisolasi, tetapi IQ maupun kecerdasan emosional dapat bersinergi sehingga menghasilkan kecerdasan yang lebih tinggi yang disebut kecerdasan spriritual.
Menurut Howard Gardner (Campbell, 2002; Suparno, 2004), setiap kecerdasan memiliki ciri perkembangan, dapat diamati dalam populasi tertentu. Menurut Gardner ada 7 kecerdasan, yaitu Pertama adalah linguistic intelligence (kecerdasan linguistik) adalah kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Para pengarang, penyair, jurnalis, pembicara, dan penyiar berita, memiliki tingkat kecerdasan linguistik yang tinggi. Kedua adalah logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika-matematika) merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi matematis. Para ilmuwan, ahli matematika, akuntan, insinyur, dan pemrogram komputer, semuanya menunjukkan kecerdasan logika-matematika yang kuat. Ketiga adalah spatial intelligence ( kecerdasan spatial) membangkitkan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara dimensi seperti yang dapat dilakukan oleh pelaut, pilot, pemahat, pelukis, dan arsitek. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan, mengemudikan diri sendiri dan objek melalui ruangan, dan menghasilkan atau menguraikan informasi grafik. Keempat adalah bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik-tubuh) memungkinkan seseorang untuk menggerakkan objek dan ketrampilan-ketrampilan fisik yang halus. Jelas kelihatan pada diri atlet, penari, ahli bedah, dan seniman yang mempunyai ketrampilan teknik. Pada masyarakat Barat, ketrampilan-ketrampilan fisik tidak dihargai sebesar ketrampilan kognitif seseorang, tetapi kemampuan ini hanya digunakan untuk bertahan hidup dan sebagai ciri penting pada peran-peran bergengsi. Kelima adalah musical intelligence (kecerdasan musik) jelas kelihatan pada seseorang yang memiliki sensitivitas pada pola titinada, melodi, ritme, dan nada. Orang-orang yang memiliki kecerdasan ini antara lain: komposer, konduktor, musisi, kritikus, dan pembuat alat musik begitupun pendengar yang sentitif. Keenam adalah interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal) merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Hal ini terlihat pada guru, pekerja sosial, artis atau politisi yang sukses. Sebagaimana budaya Barat mulai mengenalkan hubungan antara akal dan tubuh, maka hal ini perlu disadari kembali pentingnya nilai dari keahlian dalam perilaku interpersonal. Ketujuh adalah intrapersonal intelligence (kecerdasan intrapersonal) merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Beberapa individu yang memiliki kecerdasan semacam ini adalah ahli ilmu agama, ahli psikologi, dan ahli filsafat.
Berkaitan dengan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah, Edward de Bono mengenalkan Enam Model Berpikir yaitu: berpikir obyektif, kritis, positif, kreatif, intuitif dan tentang model (Stine, 2003:212). Berpikir kritis adalah memeriksa sebuah situasi dengan cermat, mencari setiap masalah yang mungkin, kemunduran, kekurangan, dan konsekuensi negatif yang dapat dihubungkan dengan sebuah situasi. Sedangkan berpikir tentang model mengarahkan pikiran dan perasaan anda tentang situasi dan bagaimana model-model tersebut akan mewarnai, menyimpangkan, atau mempengaruhi pikiran anda tentang suatu situasi.
Pembelajaran fisika dapat dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir seperti yang disampaikan oleh de Bono tersebut. Salah satu aspek yang terpenting dalam fisika adalah pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pengamatan tersebut diperlukan sifat-sifat obyektif, kritis, positif, kreatif, intuitif dan tentang model.
Menurut The Houw Liong dan B. Suprapto Brotosiswojo, sekurang-kurangnya ada 9 kemampuan dasar yang dapat ditumbuhkan lewat pengajaran fisika yaitu: pengamatan langsung, pengamatan tak langsung, kesadaran tentang skala besaran (sense of scale), kefasihan menggunakan bahasa simbolik, kemampuan berpikir dalam kerangka logika taat-asas dari hukum alam, kemampuan melakukan inferensi logika, pemahaman tentang hukum sebab akibat, kemampuan membuat pemodelan matematik, kemampuan untuk membangun konsep (Dikti-Depdiknas, 2000).
Kemampuan berpikir merupakan bagian dari kecakapan hidup (life skills). Menurut Tim Broad-Base Education Depdiknas (2002), kecakapan hidup adalah yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar dengan tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Saat sekarang telah berkembang paradigma baru dalam berpikir, yaitu berpikir komprehensif (keseluruhan). Secara etimologi komprehensif berarti meliputi atau mencakup banyak hal. Berkaitan dengan pembelajaran dengan, ini berarti bahwa bahan ajar harus dapat dihubungkan dengan bayak hal, misalnya hubungan antara sains, teknologi, masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian berpikir yang meliputi sains, teknologi, masyarakat dan lingkungan merupakan berpikir komprehensif. Kemampuan berpikir komprehensif seperti itu merupakan penekanan dalam pendidikan SETS seperti yang dikemukakan Binadja (1999) bahwa pembelajaran dengan pendekatan SETS akan membimbing mahasiswa untuk berpikir secara global atau keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar