Selasa, 05 Oktober 2010

Muatan Budi Pekerti pada Pembelajaran Sains

A.    Pendahuluan

Pada setiap kurikulum selalu menekankan agar siswa dapat memahami bahkan menerapkan pengetahuan yang dipelajari sehingga dapat menghargai Sang Pencipta. Akan tetapi, dari hasil evaluasi yang dilakukan selama ini banyak pihak yang belum merasa puas dengan hasil belajar siswa. Dicurigai bahwa padatnya beban kurikulum yang ditawarkan merupakan penyebab kegagalan belajar tersebut. Bahkan di antara para pendidik ada yang menyatakan secara ekstrim bahwa kurikulum itu ibarat “pil koplo” yang menyebabkan siswa menjadi semakin bodoh (Binadja,2000:1).

Sebagai usaha menjawab harapan masyarakat tersebut, Kurikulum sekolah didesain oleh sekolah masing-masing dengan harapan dapat menyesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah yang berbeda-beda. Kurikulum tersebut berorientasikan pada kompetensi dasar sebagai acuannya. Namun dengan hal tersebut dirasakan belum cukup, perlu pendidikan budi pekerti yang dapat mencirikan karakter bangsa sesuai dengan warisan budaya kita. Akhir-akhir ini dapat kita lihat bentuk-bentuk kejahatan seperti mencuri, membunuh, memperkosa, korupsi, dan tindakan kekerasan mudah ditemui dalam masyarakat modern seperti ini. Pelaku kejahatan ini terkadang melibatkan anak / orang berpendidikan sebagai output pendidikan di sekolah. Di samping itu ada jenis kejahatan yang sering ‘dipelihara’ secara tidak sengaja di sekolah. Misalnya, perilaku siswa / kelompok siswa yang kadangkala sengaja memanipulasi data hasil pengamatan demi suatu kesimpulan percobaan supaya sesuai dengan teori yang berlaku. Juga, kebiasaan siswa memperoleh nilai bagus dengan nyontek atau melalui perolehan nilai bersama kelompok tanpa harus bekerja. 

Bertolak dari masalah di atas maka perlu diupayakan memasukkan muatan budi pekerti pada setiap mata pelajaran. Mata pelajaran IPA misalnya, banyak berorientasi pada penumbuhan sikap ilmiah (scientific attitude) selain perluasan wawasan ilmiah (IA) dan pengembangan ketrampilan proses. Gagasan ‘belajar IPA yang tidak sekedar belajar sederetan fakta IPA’ sudah lama dicanangkan dan secara eksplisit sejak kurikulum 1975 diberlakukan. Ini berimplikasi pada strategi pengajaran IPA dengan bergesernya orientasi ”telling science” ke orientasi “doing science”. Salah satu alasan perubahan orientasi ini adalah kehendak kuat agar ‘outcome lulusan’ memiliki kinerja sinergis hasil interpenetrasi (proses kait-mengkait) ketiga ranah kemampuan: ’kognitif-psikomotor-attitude’ (Karhami,2002:3)

 

B.     Hakekat Pendidikan Sains

     Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains dalam arti sempit diartikan sebagai disiplin ilmu terdiri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogi, meteorologi , dan fisika; sedangkan life sciences meliputi biologi, zoologi dan fisiologi (Sumaji, 1998:31). Analisis James Connant (Sarkim, 1998:129) menunjukkan bahwa sains mencakup dua aspek, yaitu body of knowledge yang sering pula disebut aspek produk dan aspek metode yang dikenal juga dengan istilah proses. Termasuk dalam aspek produk diantaranya adalah prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori-teori.

     Hardy dan Fleer (Rohandi, 1998:114) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membahas hakekat sains, sehingga memungkinkan para guru dapat memahami pengertian sains dalam perspektif yang lebih luas.

  1. Sains sebagai kumpulan pengetahuan

Sains sebagai kumpulan pengetahuan mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan yang baru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi yang menjelaskan tentang alam.

  1. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigation)

Sains sebagai suatu proses penelusuran umumnya merupakan suatu pandangan yang menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai sesuatu yang memiliki disiplin yang ketat, objektif, dan suatu proses yang bebas nilai dari kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis, dan percobaan dalam alam. Penting untuk dipahami bahwa ilmuwan memberikan berbagai gagasan yang melibatkan proses ‘metode ilmiah’ dalam melakukan kegiatannya.

  1. Sains sebagai kumpulan nilai

Sains sebagai kumpulan nilai berhubungan erat dengan penekanan sains sebagai proses. Bagaimanapun juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat dalam sains. Ini termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu, keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru sekalipun.

  1. Sains sebagai suatu cara untuk mengenal dunia

Proses sains dipengaruhi oleh cara dimana orang memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Sains dipertimbangkan sebagai suatu cara di mana manusia mengerti dan memberim makna pada dunia sekeliling mereka. Diyakini bahwa sains merupakan hal sangat penting dan dipandang sebagai salah satu cara untuk mengetahui dunia beserta isinya. Namun demikian, disadari pula bahwa sains memiliki keterbatasan sebagai suatu kumpulan pengetahuan dan strategi untuk menelusuri serta memahami dunia secara komprehensif.

  1. Sains sebagai institusi sosial

Ini berarti bahwa sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para profesional, dimana melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi penghargaan akan hasil karya yang telah dihasilkan, didanai, dan diatur dalam masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah, bahkan dipengaruhi oleh politik.

  1. Sains sebagai hasil konstruksi manusia

Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakekat semesta alam. Pengetahuan ilmiah ini tidak lain merupakan akumulasi pemikiran manusia. Oleh karenanya, dapat saja apa yang dihasilkan sains memiliki sifat bias dan sementara.

  1. Sains sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari

Orang menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains. Bukan saja pemakaian berbagai jenis produk teknologi sebagai hasil penelusuran dan pengetahuan, melainkan pula cara bagaimana orang berfikir mengenai situasi sehari-hari sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah.

 

C.     Sikap Ilmiah Sebagai Unsur Budi Pekerti

Berkaitan dengan masalah hakekat sains sebagai kumpulan nilai, maka sikap keilmuan perlu dikembangkan dalam pengajaran sains. Sikap keilmuan yang dimaksud adalah berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuwan khususnya metika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru, diantaranya tanggungjawab, rasa ingin tahu, disiplin, tekun jujur, dan terbuka terhadap pendapat orang lain.

Sikap atau ‘attitude’ merupakan kecenderungan untuk bertindak (tendency to behave). Menurut R.T. White (1988), wilayah ‘attitude’ mencakup juga wilayah kognitif. Attitude dapat membatasi atau mempermudah anak untuk menerapkan ketrampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai. Anak tidak akan berusaha untuk memahami suatu konsep jika dia tidak memiliki kemauan untuk itu (ingat kemauan masuk dalam wilayah sikap). Karena itu, attitude seseorang terhadap mata pelajaran sangat berpengaruh pada keberhasilan kegiatan pembelajaran.

Scientific attitude mengandung dua makna (Harlen, W.1985), yaitu attitude to science dan attitude of science. Attitude yang pertama mengacu pada sikap terhadap IPA sedangkan attitude yang kedua mengacu pada sikap yang melekat setelah mempelajari IPA. Pada kajian ini akan dibahas scientific attitude yang berkaitan dengan attitude of science. Jika seseorang memiliki sikap tertentu, orang itu cenderung berperilaku demikian secara konsisten pada setiap keadaan. Misalnya, ketika ada ceramah, seseorang selalu mendengarkan gagasan yang disajikan secara serius dengan penuh minat pada suatu keadaan meskipun konsepsi yang disajikan jauh berbeda dengan gagasannya. Jika pada keadaan lain, orang itu juga berperilaku sama pada ceramah orang lain, maka orang ini dapat dikatakan bersikap terbuka (open-minded).

Beberapa contoh ‘scientific attitude’ yang mulai lazim dikembangkan di sekolah meliputi; sikap jujur, terbuka, luwes, tekun, logis, kritis, kreatif. Namun beberapa sikap ilmiah yang lebih khas dan belum optimal dikembangkan meliputi curiosity (sikap ingin tahu), respect for evidence (sikap untuk senantiasa mendahulukan bukti), flexibility (sikap luwes terhadap gagasan baru), critical reflection (sikap merenung secara kritis), sensitivity to living things and environment (sikap peka / peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan).

  1. Curiosity (sikap ingin tahu)

Curiosity ditandai dengan tingginya minat keingintahuan anak terhadap setiap perilaku alam di sekitarnya. Anak sering melakukan eksplorasi pada benda-benda yang ditemuinya. Anak sering mencoba beberapa pengalaman baru. Anak sering mengamati benda-benda di dekatnya. Perilaku ini tentu saja sangat membantu anak dalam pencapaian tagihan kegiatan pembelajaran. Curiosity sering diawali dengan pengajuan pertanyaan. Namun, pengajuan pertanyaan bukan satu-satunya ciri curiosity. Mendorong anak untuk terbiasa mengajukan pertanyaan merupakan cara terbaik untuk mengembangkan curiosity. Namun, guru perlu berhati-hati untuk menugaskan anak untuk memperjelas pertanyaan yang diajukan.

  1. Respect for evidence (sikap untuk senantiasa mendahulukan bukti)
  2. Flexibility (sikap luwes terhadap gagasan baru)
  3. Critical reflection (sikap merenung secara kritis)
  4. Sensitivity to living things and the environment (sikap peka terhadap makhluk hidup dan lingkungan)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More